PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT PINGGIRAN KOTA
ABSTRACT
Community empowerment is an attempt to restore or
enhance the empowerment of a community to be able to live up to their dignity
and rights and carry out their responsibilities as human communities and
citizens. The final goal is the restoration of community values human dignity
and values fit as a unique person, independent, and autonomous. Unique in the
context of human diversity; free from all shackles of internal and external,
including the shackles of worldliness and poverty, as well as independent
programmers to be able to be responsible for themselves and others. A strong
economy must have the endurance and competitiveness. Economic resilience is not
easily swayed by the turmoil that comes, whether from within or abroad.
Economic competitiveness will be generated by the productivity and efficiency.
The most basic element in the productivity are human resources and technology.
Efficiency of economic institutions can be seen from effective market mechanism
and the lack of transaction barriers.
Keywords : empowerment,
competitiveness, independent, resistance
PENDAHULUAN
Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah
terjemahan dari empowerment,
sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam
Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu:
(1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi
kemampuan atau keperdayaan.
Pemberdayaan
masyarakat dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk
memulihkan atau
meningkatkan keberdayaan suatu komunitas agar mampu berbuat sesuai dengan
harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawab mereka
sebagai komunitas manusia dan warga negara. Tujuan akhir pemberdayaan
masyarakat adalah pulihnya nilai-nilai manusia sesuai harkat dan martabatnya
sebagai pribadi yang unik, merdeka, dan mandiri. Unik dalam konteks kemajemukan
manusia; merdeka dari segala belenggu internal maupun eksternal termasuk
belenggu keduniawian dan kemiskinan; serta mandiri untuk mampu menjadi
programmer bagi dirinya dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan sesama.
Manusia yang berdaya adalah manusia yang mampu
menjalankan harkat martabatnya sebagai manusia, merdeka dalam bertindak sebagai
manusia dengan didasari akal sehat serta hati nurani. Artinya manusia tidak
harus terbelenggu oleh lingkungan, akan tetapi semata-mata menjadikan
nilai-nilai luhur kemanusiaan sebagai kontrol terhadap sikap perilakunya.
Manusia dikaruniai hati nurani, sehingga mempunyai sifat-sifat baik dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya.
Wujud dari keberdayaan sejati adalah kepedulian,
kejujuran, bertindak adil, tidak mementingkan diri sendiri, dan sifat-sifat
baik lainnya. Manusia-manusia berdaya tidak akan merusak dan merugikan orang
lain, tetapi memberikan cinta kasih yang ada pada dirinya kepada orang lain
dengan tulus sehingga hidupnya bermakna bagi dirinya dan memberikan manfaat
untuk lingkungannya. Terciptanya komunitas yang berdaya akan dapat
menanggulangi kemiskinan yang diakibatkan oleh lunturnya nilai-nilai
kemanusiaan.
Pemberdayaan
komunitas dipengaruhi oleh teladan dan tindakan perilaku dari pimpinannya.
Karakter pemimpin yang mencerminkan sifat-sifat kebaikan akan mempercepat
proses perubahan di masyarakat. Pemimpin-pemimpin seperti ini akan menjamin
warganya untuk mendapatkan keadilan, tidak mementingkan diri sendiri tetapi
bekerja untuk kepentingan sesama, semata-mata sebagai wujud dari
tanggungjawabnya sebagai manusia.
Untuk pemberdayaan dapat ditempuh dengan
menggunakan 2 cara. Hal ini dikemukakan oleh Oakley & Marsden (1984) yang
dikutip Hikmat (2001:44). Kedua cara tersebut adalah:
a. Proses
pemberdayaan yang menekankan proses memberikan atau mengalihkan kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.
Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya menggali sistem sumber guna mendukung
pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi
b. Proses
pemberdayaan yang menekankan proses menstimuli, mendorong atau memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Tujuan Pemberdayaan
Adapun
tujuan pemberdayaan adalah meningkatkan peran dan kekuatan dari individu,
kelompok ataupun komunitas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sanim
(1997:3), yang menyebutkan bahwa terdapat 5 (lima) tujuan pemberdayaan yaitu:
a. Meningkatkan
kemampuan dan kekuatan masyarakat dari potensi yang dimilikinya
b. Pembinaan dan
pemupukan masyarakat madani (civil society)
c. Meningkatkan
peran masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan di berbagai sektor
d. Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan usaha ekonomi produktif
e. Memberikan
kekuasaan atau wewenang dalam mengambil tindakan/keputusan dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan keluarga yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah penguatan bagi anggota keluarga itu yaitu ayah, ibu, dan anak-anak. Dengan
demikian keluarga sebagai satu sistem mampu bersinergi dalam memperkuat eksistensinya.
Tingkatan Pemberdayaan
Mengacu
pada pandangan Susiladiharti dalam Huraerah (2001: 103), bahwa terdapat 5
(lima) tingkat keberdayaan masyarakat:
a. Tingkat
keberdayaan pertama adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs).
b. Tingkat
keberdayaan kedua adalah penguasaan dan akses terhadap berbagai sistem dan
sumber yang diperlukan.
c. Tingkat
keberdayaan ketiga adalah dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi,
kekuatan dan kelemahan diri dan lingkungannya.
d. Tingkat
keberdayaan keempat adalah kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai
kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas.
e. Tingkat
keberdayaan kelima adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya.
Tingkatan kelima ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat
dalam mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan institusi
dan pemerintah.
Proses Pemberdayaan
Dalam
pemberdayaan keluarga dapat ditempuh dengan menerapkan proses dan metode pekerjaan
sosial bidang kajian mikro (social case work). Mengacu pada kerangka
proses, model analisis dan pemecahan masalah sosial sebagai berikut :
Assessment
Plan
of Treatment
Treatment
Action
Evaluasi
& Terminasi. Wibhawa (2011: 65 - 66)
Pengembangan Sumber Daya Manusia yang meliputi
Pelatihan Ketrampilan Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan upaya
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu
meliputi antara lain pelatihan manajemen kelembagaan. Pengembangan Usaha Kecil
Menengah. Pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk pengembangan usaha kecil
menengah, mem- buka peluang/kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat, meli- puti antara lain pelatihan industri kecil, dan
pemberian kredit untuk modal usaha. Perbaikan Rumah. Kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas rumah tinggal, baik fisik maupun
kejelasan status per- i2inannya, antara lain meliputi perbaikan dapur, KM/WC,
dan komponen rumah lainnya. Perbaikan
Prasarana Lingkungan. Pelaksanaan perbaikan fisik lingkungan (prasarana) per-
mukiman kampung, meliputi antara lain per-baikan jalan lingkungan, saluran,
fasilitas persampahan, dan MCK umum. Berdasarkan lingkup kegiatan program yang
akan ditangani, maka pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan
meliputi: Daya Manusia (Pengembangan Sumber Daya Manusia); Daya Usaha
(Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah); dan Daya Lingkungan (Peningkatan
Kondisi Fisik Lingkungan dan Permukiman). Dana kegiatan pembangunan fisik dan
per- modalan untuk masyarakat dimanfaatkan dengan menggunakan dua pola, yaitu: (a)
Dana Habis/Hibah. Yaitu dana dimanfaatkan oleh warga tanpa harus
dikembalikan/diangsur. Kegiatan yang dibiayai secara hibah adalah
kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat bagi warga atau masyarakat secara
luas/umum (komunal); dan dalam hal ini meliputi: kegiatan perbaikan fisik
lingkungan dan kegiatan penguatan lembaga pengelola program di masyarakat. (b)
Dana/Pinjaman Bergulir. Yaitu dana dimanfaatkan dalam bentuk pin-jaman lunak
yang diberikan kepada warga dan harus dikembalikan kepada pengelola dana
program di kampung, dan nantinya digulirkan atau dipinjamkan kepada warga
lainnya.
Kegiatan yang dibiayai dengan dana
bergulir (pinjaman) adalah kegiatan yang memberikan manfaat kepada warga (KK)
secara individual, dan dalam hal ini meliputi: kegiatan program pelatihan
ketrampilan, pinjaman rumah tangga untuk perbaikan rumah, dan Kredit Modal
Usaha Kecil
Pemberdayaan Masyarakat
dalam Bidang Ekonomi
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap
model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.
Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses
pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2)
pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan
masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk
memperkuat dan legitimasi; dan (4) konsep sistem pengetahuan, sistem hukum,
sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prajono dan
Pranarka, 1996:229). Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat
yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai
dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi
yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari
format sosial ekonomi yang dikotomis ini telah melahirkan berbagai pandangan
mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran
kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa
kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya.
Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia
dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua,
pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to
everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang
terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengeliminasi hak normatif
manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus
didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri.
Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa
menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat
dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power
to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to
nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh
sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to
powerless (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 : 45-70).
Ketiga pandangan tersebut di atas, kalau dikaji
secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan praksis
pemberdayaan. Di lapangan, paling tidak ada 3 konsep pemberdayaan. Konsep
pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘daun’ dan ‘ranting’ atau
pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur
ekonomi sudah dianggap given, maka pemberdayaan adalah usaha bagaimana
masyarakat tunadaya harus menyesuaikan dengan yang sudah given tersebut. Bentuk
aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tunadaya dan pemberian
santunan, seperti misalnya pemberian bantuan modal, pembangunan prasarana
pendidikan, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai magical paradigm.
Konsep kedua, pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘batang’ atau pemberdayaan
reformis. Artinya, secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya,
sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada kebijakan operasional. Oleh sebab
itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah dari top down menjadi bottom up,
sambil mengembangkan sumberdaya manusianya, menguatkan kelembagaannya, dan
sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai naïve paradigm. Konsep ketiga,
pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘akar’ atau pemberdayaan struktural. Karena
tidakberdayanya masyarakat disebabkan oleh struktur politik, ekonomi, dan
sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lemah untuk berbagi
kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka stuktur itu yang
harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan hanya dipahami sebagai
penjungkirbalikan tatanan yang sudah ada. Semua tatanan dianggap salah dan oleh
karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya memfasilitasi rakyat untuk
melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin untuk melawan orang kaya dan
atau pengusaha, dan sejenisnya. Singkat kata, konsep pemberdayaan masyarakat
yang hanya berkutat pada akar adalah penggulingan the powerful. Konsep ketiga
ini sering disebut sebagai critical paradigm. Oleh Pranarka dan Moelyarto
(1996), karena kesalah-pahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan
yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan,
proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah.
Menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah
proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak
normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi
penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan
penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik.
Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah pemberdayaan masyarakat, maka menurut
Friedmann (1992), pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan
rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan
psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana
rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan
ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke
sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha
bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan
keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan
psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang
lemah. Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai
pengertian pemberdayaan, seperti Hulme dan Turner (1990), Robert Dahl (1963),
Kassam (1989), Sen dan Grown (1987), dan Paul (1987), yang pada prinsipnya
adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa
depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi,
dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Dari berbagai pandangan mengenai konsep
pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat
adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan
distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang
memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan
ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek
masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu
strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik,
maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat
diformulasikan secara generik. Usaha memformulasikan konsep, pendekatan, dan
bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat secara generik, memang
penting, tetapi yang jauh lebih penting, adalah pemahaman bersama secara jernih
terhadap karakteristik permasalahan ketidakberdayaan masyarakat di bidang
ekonomi. Sebab dengan pemahaman yang jernih mengenai ini, akan lebih produktif
dalam memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal. Berikut
adalah salah satu contoh problem spesifik yang dihadapi masyarakat tunadaya
dalam bidang akses faktor produksi modal.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat
lemah adalah dalam hal akses untuk memperoleh modal. Dalam pasar uang,
masyarakat perdesaan baik yang petani, buruh, pengusaha mikro, pengusaha kecil,
dan pengusaha menengah, terus didorong untuk meningkatkan tabungan. Tetapi
ketika mereka membutuhkan modal, mereka diperlakukan diskriminatif oleh lembaga
keuangan. Sehingga yang terjadi adalah aliran modal dari masyarakat lemah ke
masyarakat yang kuat. Lembaga keuangan dimana posisinya sebagai perantara, maka
di dalamnya berbagi resiko dengan borrowers, memberikan informasi kepada
borrower, dan menyediakan likuiditas. Kenyataan yang terjadi, kepada masyarakat
lemah dan pengusaha kecil, perlakukan atas ketiga hal tersebut juga
diskriminatif. Dan atas perlakuan yang tidak adil itu, masyarakat tidak
memiliki kekuatan tawar menawar dengan pihak lembaga kuangan. Contoh yang lebih
umum dari problem spesifik yang dihadapi masyarakat tunadaya, dapat dilihat
pada gambar 2. Sepertti diketahui bahwa salah satu dari tujuan akhir
pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah meningkatnya pendapatan
masyarakat lemah. Pendapatan masyarakat pada umumnya berasal dari dua anasir,
yaitu dari upah/gaji dan dari surplus usaha. Dari anasir upah/gaji, pada
umumnya masyakat yang tunadaya hanya menerima upah/gaji rendah. Rendahnya
gaji/upah yang diterima masyarakat tunadaya ini disebabkan karena mereka pada
umumnya memiliki ketrampilan yang terbatas dan sikap mental yang buruk (need
achievment rendah, tidak disiplin). Rendahnya ketrampilan masyarakat tunadaya
disebabkan karena akses atau kesempatan mereka untuk mendapatkan pelayanan
pendidikannya pada umumnya buruk. Oleh sebab itu, pemberdayaan ekonomi
masyarakat yang cukup realistis untuk masyarakat pekerja yang tunadaya, adalah
melalui affirmative action (misalnya subsidi pendididikan bagi masyarakat
tunadaya) di bidang pendidikan. Untuk melakukan affirmative action bagi
masyarakat tunadaya, maka pemerintah harus memiliki dana. Untuk mendapatkan
dana dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal, misalnya dengan pajak progresif.
Gambar
2. Permasalahan masyarakat tunadaya bidang ekonomi
Demikian pula dari anasir surplus usaha. Sebagian
besar masyarakat tunadaya tidak memiliki usaha, atau kalaupun memiliki, maka
mereka menghadapi kendala dalam hal modal, dan atau tanah, dan atau kemampuan
sumberdaya manusia, dan distribusi (baik pada pasar input maupun pada pasar
output atau pasar barang). Keempat kendala ini saling berkaitan satu sama lain.
Oleh sebab itu dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat dari sisi surplus
usaha, maka perlu ditangani secara komprehensif. Penanganan kendala modal,
kendala distribusi, dan kendala tanah tidak seluruhnya dapat dilakukan melalui
pendekatan ekonomi semata. Karena banyak dimensi-dimensi politik yang harus
ditangani. Oleh sebab itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat
dilakukan tanpa pemberdayaan politik dan kebijakan politik.
Paper ini akan menuntut kepada kita semua, bahwa
pemberdayaan ekonomi masyarakat harus menjadi komitmen dan kebijakan semua departemen.
Sebab sekali lagi, dimensi yang harus ditangani dalam pemberdayaan masyarakat
dalam bidang ekonomi, bersifat multi. Sekarang bagaimana dengan konsep
pemberdayaan ini di kalangan birokrasi pemerintah. Walaupun uraian berikut
tidak mewakili pemahaman birokrasi pemerintah secara keseluruhan, tetapi paling
tidak dapat membantu kita untuk memahami konsep pemberdayaan menurut birokrasi
pemerintah. Dari berbagai tulisan Sumodiningrat (1999), konsep pemberdayaan
ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Perekonomian
rakyat adalah pereknomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang
deselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekonomian nasional yang berakar
pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian
mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara.
2.
Pemberdayaan
ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang kuat, besar, modern,
dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala
pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan
ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural.
3.
Perubahan
struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi
modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi
pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah-langkah proses perubahan
struktur, meliputi: (1) pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya; (2)
penguatan kelembagaan; (3) penguasaan teknologi; dan (4) pemberdayaan sumberdaya
manusia.
4.
Pemberdayaan
ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan produktivitas, memberikan
kesempatan berusaha yang sama, dan hanya memberikan suntikan modal sebagai
stimulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara
yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang.
5.
Kebijakannya
dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah: (1) pemberian peluang atau akses yang
lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal); (2) memperkuat posisi
transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan
sekadar price taker; (3) pelayanan pendidikan dan kesehatan; (4) penguatan
industri kecil; (5) mendorong munculnya wirausaha baru; dan (6) pemerataan
spasial
6.
Kegiatan
pemberdayaan masyarakat mencakup: (1) peningkatan akses bantuan modal usaha;
(2) peningkatan akses pengembangan SDM; dan (3) peningkatan akses ke sarana dan
prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal.
Dari enam butir pokok mengenai konsep pemberdayaan
masyarakat ini, dapat disimpulkan, bahwa: (1) pemberdayaan masyarakat tidak
dapat dilakukan hanya melalui pendekatan daun saja, atau cabang saja, atau
batang saja, atau akar saja; karena permasalahan yang dihadapi memang ada pada
masing-masing aspek; (2) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak
cukup hanya dengan pemberian modal bergulir, tetapi juga harus ada penguatan
kelembagaan ekonomi masyarakat, penguatan sumberdaya manusianya, penyediaan prasarananya,
dan penguatan posisi tawarnya; (3) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi
atau penguatan ekonomi rakyat, harus dilakukan secara elegan tanpa menghambat
dan mendiskriminasikan ekonomi kuat; untuk itu kemitraan antar usaha mikro,
usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar adalah jalan yang harus ditempuh;
(4) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah proses penguatan
ekonomi rakyat menuju ekonomi rakyat yang kokoh, modern, efisien; dan (5)
pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak dapat dilakukan melalui
pendekatan individu, melainkan harus melalui pendekatan kelompok.
Mengkritisi
Pemberdayaan Bidang Ekonomi Saat Ini
Dari berbagai konsep mengenai pemberdayaan
masyarakat di bidang ekonomi, seperti telah dibahas sebelumnya, sekarang kita
akan melihat, bagaimana konsep ini dipraktikan. Dari berbagai program dan atau
proyek pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, apakah itu program Inpres
Desa Tertinggal (IDT), proyek Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT), Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Pengembangan Kawasan
Desa-kota Terpadu (PARUL), Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lokal (PEML/LED) dan
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), secara
umum memiliki kemiripan dimenasi pendekatan, seperti misalnya: (1) bantuan
modal bergulir; (2) bantuan pembangunan prasarana; (3) penguatan kelembagaan;
(4) penguatan kemitraan usaha; dan (5) bantuan pendampingan.
1. Bantuan Modal
Salah satu aspek permasalahan yang dihadapi
masyarakat tuna daya adalah permodalan. Lambannya akumulasi kapital di kalangan
pengusaha mikro, kecil, dan menengah, merupakan salah satu penyebab lambannya
laju perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha di sektor usaha mikro,
kecil dan menengah. Faktor modal juga menjadi salah satu sebab tidak munculnya
usaha-usaha baru di luar sektor ekstraktif. Oleh sebab itu tidak salah, kalau
dalam pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, pemecahan dalam aspek modal
ini penting dan memang harus dilakukan.
Ada
dua hal yang perlu kita cermati bersama. Pertama, bahwa lemahnya ekonomi
masyarakat tunadaya ini bukan hanya terjadi pada masyarakat yang memiliki usaha
mikro, kecil, dan menengah, tetapi juga masyarakat yang tidak memiliki faktor
produksi, atau masyarakat yang pendapatannya hanya dari upah/gaji. Karena tidak
mungkin semua anggota masyarakat tunadaya dapat dan memiliki talenta untuk
dijadikan pengusaha, maka bantuan modal tidak akan dapat menjawab permasalahan
yang dihadapi masyarakat pekerja. Dalam praktik pemberdayaan
ekonomi masyarakat, tampaknya pemberdayaan untuk masyarakat pekerja ini perlu
dipikirkan bersama. Kedua, yang perlu dicermati dalam usaha pemberdayaan
masyarakat di bidang ekonomi melalui aspek permodalan ini adalah: (1) bagaimana
pemberian bantuan modal ini tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat; (2)
bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang
kondusif bagi usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan
akses di lembaga keuangan; (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan pengalokasian modal ini tidak
terjebak pada perekonomian subsisten atau ekonomi kere. Tiga hal ini penting
untuk dipecahkan bersama. Inti pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat.
Pemberian hibah modal kepada masyarakat, selain kurang mendidik masyarakat
untuk bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi
pasar uang. Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi
pemecahan masalah permodalan untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah, adalah dengan menjamin kredit mereka di lembaga keuangan yang ada,
dan atau memberi subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara
ini selain mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap pengembalian
kredit, juga dapat menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan
lembaga keuangan yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan bahwa
tidak ada alasan untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman.
Sistem atau kebijakan yang kondusif untuk memperluas
akses usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah ke lembaga keuangan,
sebenarnya sudah cukup banyak, seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Kepada
Koperasi (KKOP), Kredit Modal Kerja Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat
(KMK-BPR), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Kredit Trans
Kawasan Timur (KKPA PIR Trans KRI), KKPA- Bagi Hasil, Kredit Pengusaha Kecil
dan Mikro (KPKM), Kredit Modal Kerja Usaha Kecil dan Menengah (KMK-UKM), dan
masih banyak lagi lainnya. Affirmative action untuk masyarakat dalam
pengembangan ekonomi, melalui mekanisme pasar ini jauh lebih baik, bila
dibanding dengan pemberian dana bergulir. Ini relevan dengan tujuan pemberdayaan
ekonomi rakyat yang akan menjadikan ekonomi rakyat sebagai ekonomi yang
tangguh, mandiri, berdaya saing, dan modern.
2. Bantuan Pembangunan
Prasarana
Usaha mendorong produktivitas dan mendorong
tumbuhnya usaha, tidak akan memiliki arti penting bagi masyarakat, kalau hasil
produksinya tidak dapat dipasarkan, atau kalaupun dapat dijual tetapi dengan
harga yang amat rendah. Oleh sebab, itu komponen penting dalam usaha
pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi adalah pembangunan prasarana produksi
dan pemasaran. Tersedianya prasarana pemasaran dan atau transportasi dari
lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya
akan meningkatkan penerimaan petani dan pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan
pengusaha menengah. Artinya, dari sisi pemberdayaan ekonomi, maka proyek
pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal, memang strategis.
3. Penguatan
Kelembagaan
Pemberdayaan ekonomi pada masyarakat lemah, pada
mulanya dilakukan melalui pendekatan individual. Pendekatan individual ini
tidak memberikan hasil yang memuaskan, oleh sebab itu, semenjak tahun 80-an,
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kelompok. Alasannya adalah, akumulasi
kapital akan sulit dicapai di kalangan orang miskin, oleh sebab itu akumulasi
kapital harus dilakukan bersama-sama dalam wadah kelompok atau usaha bersama.
Demikian pula dengan masalah distribusi, orang miskin mustahil dapat
mengendalikan distribusi hasil produksi dan input produksi, secara individual.
Melalui kelompok, mereka dapat membangun kekuatan untuk ikut menentukan
distribusi.
Dalam beberapa hal logika ini benar, tetapi tidak
benar untuk hal yang lain. Pengalaman empiris telah membuktikan hal ini.
pendekatan kelompok memang efektif untuk wahana belajar dan wahana refleksi.
Tetapi pendekatan kelompok jarang berhasil. Pada tahun 80-an ada NGO besar di
Jakarta yang pernah memiliki pendampingan kelompok usaha ekonomi sampai lebih
dari dua ribu kelompok usaha bersama. Ketika kelompok tersebut didampingi oleh fasilitator
dan diberi bantuan modal bergulir, aktivitas ekonomi melalui kelompok berjalan
cukup baik. Tetapi ketika ditinggalkan pendampingnya dan tidak ada lagi bantuan
modal, maka kelompok-kelompok ini akhirnya bubar.
Dengan demikian, pengertian pengembangan kelembagaan
ekonomi, perlu didefinsikan kembali. Kalau pendekatan kelompok dimaksudkan
untuk tujuan akumulasi modal atau membangun kelembagaan keuangan tersendiri,
maka itu tidak mudah untuk mencapainya. Yang paling realistis adalah bila
pengelompokan atau pengorganisasian ekonomi diarahkan pada kemudahan untuk
memperoleh akses modal ke lembaga keuangan yang telah ada, dan untuk membangun
skala usaha yang ekonomis.
Aspek kelembagaan yang lain adalah dalam hal
kemitraan antar skala usaha dan jenis usaha, pasar barang, dan pasar input
produksi. Ketiga aspek kelembagaan ini penting untuk ditangani dalam rangka
pemberdayaan ekonomi masyarakat.
4. Penguatan Kemitraan
Usaha
Penguatan ekonomi rakyat atau pemberdayaan
masyarakat dalam ekonomi, tidak berarti mengalienasi pengusaha besar atau
kelompok ekonomi kuat. Karena pemberdayaan memang bukan mendelegasikan yang
lain, tetapi give power to everybody. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang
ekonomi adalah penguatan bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau
ada yang kecil dan menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang
besar dan menengah.
Daya saing yang tinggi hanya ada jika ada
keterkaiatan antara yang besar dengan yang menengah dan kecil. Sebab hanya
dengan keterkaitan produksi yang adil, efisiensi akan terbangun. Oleh sebab
itu, melalui kemitraan dalam bidang permodalan, kemitraan dalam proses
produksi, kemitraan dalam distribusi, masing-masing pihak akan diberdayakan.
5. Bantuan Pendampingan
Pendampingan masyarakat tunadaya memang perlu dan
penting. Tugas utama pendamping ini adalah memfasilitasi proses belajar atau
refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan baik antara usaha
mikro, usaha kecil, maupun usaha menengah dengan usaha besar. Yang perlu
dipikirkan bersama adalah mengenai siapa yang paling efektif menjadi pendamping
masyarakat. Pengalaman empirik dari pelaksanaan IDT, P3DT, dan PPK, dengan
adanya pendamping eksitu, ternyata menyebabkan biaya transaksi bantuan modal
menjadi sangat mahal. Selain itu, pendamping eksitu yang diberi upah, ternyata
juga masih membutuhkan biaya pelatihan yang tidak kecil. Oleh sebab itu, untuk
menjamin keberlanjutan pendampingan, sudah saatnya untuk dipikirkan pendamping
insitu, bukan pendamping eksitu yang sifatnya sementara Sebab proses
pemberdayaan bukan proses satu dua tahun, tetapi proses puluhan tahun.
Upaya Yang Harus
Dilakukan
Untuk mewujudkan ekonomi yang tangguh dan mandiri
harus diketahui beberapa ciri pokok yang melatarbelakanginya. Ekonomi yang
tangguh harus memiliki daya tahan dan daya saing. Ekonomi yang memiliki daya
tahan adalah perekonomian yang tidak mudah terombang-ambing oleh gejolak yang
datang, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Perekonomian tersebut
ditandai dengan (1) adanya diversifikasi kegiatan ekonomi, seperti tercermin
dalam keragaman sumber mata pencaharian penduduknya, sumber penerimaan negara,
sumber penerimaan devisa, dan sebagainya. (2) pelaku ekonominya mempunyai
keluwesan yang tinggi (flexibility) dalam menyesuaikan diri terhadap
perkembangan lingkungan usaha yang dapat berubah dengan cepat, (3) kerangka
kebijakan dan peraturan yang mendukung (conclusive) terciptanya iklim usaha
yang sehat.
Daya saing perekonomian akan dihasilkan oleh
produktivitas dan efisiensi. Unsur yang paling pokok dalam produktivitas adalah
sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Efisiensi menyangkut aspek kelembagaan
ekonomi, terutama bekerjanya mekanisme pasar secara efektif dan sedikitnya
hambatan dalam transaksi.
Ekonomi yang mandiri difahami sebagai
ketidaktergantungan kepada pihak lain (dependency). Ketidaktergantungan bukan
berarti keterisolasian, dan tidak berarti tidak mengenal adanya saling
ketergantungan (interdependency). Oleh karena itu tidak semua negara memiliki
potensi atau endowment yang sama, maka ada kebutuhan untuk saling mengisi, dan
kebutuhan ini menciptakan perdagangan, dan dengan demikian mengakibatkan adanya
lembaga yang disebut pasar.
Selain yang telah disebutkan di atas ada beberapa
upaya yang harus dilakukan agar pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat terwujud,
yaitu :
Efektivitas dan
Efisiensi Program Pemberdayaan
Kita patut bergembira, karena dalam beberapa tahun
terkahir ini banyak sekali program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh banyak
pihak, mulai dari pihak pemerintah, pihak swasta, maupun pihak lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Ini indikasi, bahwa pemberdayaan sebagai paradigma baru
pembangunan, telah menjadi komitmen dari semua komponen bangsa. Untuk
efektivitas dan efisiensi, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita
bersama. Beberapa hal dimaksud antara lain: (1) perlu ada kesamaan paham
mengenai konsep pemberdayan, sebab pada akhir-akhir ini berbagai program/proyek
pembangunan diberi lebel pemberdayaan, walaupun sebenarnya justru mengingkari
makna pemberdayaan; dan (2) perlu ada koordinasi antarlembaga dan bahkan dalam
lembaga dalam gerakan pemberdayaan ini, sebab ditengarai ada banyak
kegiatan/proyek yang saling tumpang tindih dan mirip satu sama lain dengan nama
yang berbeda.
Penguasaan Faktor
Produksi
Dari banyak program pemberdayaan yang selama ini
telah dilakukan, hampir tidak ada yang mencoba memasuki aspek yang cukup
fundamental, yaitu aspek penguasaan faktor-faktor produksi oleh rakyat.
Kalaupun ada umumnya pada faktor produksi modal. Untuk faktor produksi lahan
(lahan pertanian, pertambangan, perikanan, kehutanan) masih belum disentuh.
Kelangkaan atau ketidakberanian menyentuh aspek ini, barangkali disebabkan
kandungan politik yang cukup tinggi. Apapun alasannya, aspek ini perlu mendapat
perhatian dalam kerangka pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebab pada dasarnya
penguatan ekonomi rakyat adalah penguatan pemilikan (spesifikasi hak) atas
faktor-faktor produksi. Tanpa memasuki aspek ini, maka pemberdayaan ekonomi
rakyat, hanya akan menyentuh permukaannya saja.
Distorsi Konsep
Distorsi konsep dalam implementasi dan kebijakan
adalah hal yang umum terjadi. Demikian juga dalam program pemberdayaan
masyarakat dalam bidang ekonomi. Dilihat dari segi konsep umum, pemberdayaan
masyarakat dalam bidang ekonomi cukup jelas dan logik. Tetapi ketika
diimplementasikan, terjadi pendangkalan yang luar biasa. Ini terjadi karena
beberapa hal, antara lain: (1) konsepmya sendiri masih bersifat umum, sehingga
dipahami beragam oleh pelaksana atau penyusun program; dan (2) kendala
administrasi, dimana setiap proyek harus dapat dipertanggungjawabkan secara
administrasi, sedang dalam program pemberdayaan kadang-kadang sulit didamaikan
dengan persyaratan administrasi yang sudah baku. Oleh sebab itu, yang paling
aman adalah, desain proyek harus menyesuaikan administrasi, bukan sebaliknya.
Pemberdayaan masyarakat tanpa didukung dengan perubahan administrasi
pembangunan, akan mengalami kesulitan untuk dilaksanakan.
Penguatan SDM
Hampir pada setiap program pemberdayaan, aspek
pengembangan sumberdaya manusia dijadikan salah satu komponennya. Tetapi juga
hampir di semua program pemberdayaan, aspek pengembangan sumberdaya manusia ini
hanya dilakukan ala kadarnya. Tidak ada usaha sistematik dan rencana strategis
untuk pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat.
Oleh sebab itu, pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka pemberdayaan
ekonomi rakyat, harus mendapat penanganan yang serius. Sebab sumberdaya manusia
adalah unsur paling fundamental dalam penguatan ekonomi rakyat.
Spesifik Lokasi dan Permasalahan
Karena permasalahan yang dihadapi masyarakat
tunadaya bersifat spesifik, baik dari aspek lokasi maupun dari aspek
permasalahan, maka tidak mungkin didesain program pemberdayaan yang bersifat
generik. Realitanya, hampir semua program pemberdayaan ekonomi rakyat, didesain
generik. Kesalahan yang paling fatal, yang selama ini dilakukan adalah, adanya
anggapan bahwa permasalahan mendasar masyarakat tunadaya adalah permasalahan
modal, oleh sebab itu setiap program pemberdayaan selalu ada komponen bantuan
modal bergulir. Padahal anggapan itu tidak selalu benar. Akibatnya, banyak
program-program pemberdayaan ekonomi rakyat yang hasilnya tidak menyentuh
permasalahan pokoknya.
KESIMPULAN
Pemberdayaan masyarakat pinggiran kota adalah
penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan
pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan
penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan,
yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri,
mapun aspek kebijakannya.
Secara praktis upaya
yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi
rakyat ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik
sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat
ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu
secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat
miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya
akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa
percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial
DAFTAR PUSTAKA
Chenery, Hollis &
Srinivasan, T.N. (1988). Handbook of Development Economics. Volume 1. North
Holland.
Friedmann
(1992). Empowerment : The Politics of Alternative Development. Cambridge Mass:
Blackwell Publisher.
Mardi Yatmo Hutomo
(2000). Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi : Tinjauan Teoritik dan
Implementasi. Bappenas, Jakarta.
Mookherjee, D.,
Hoerauf, E. (2004). Cities in Transition : Monitoring Growth Trends in Delhi
Urban Agglomeration 1991 – 2001. Dela 21. 2004. pp.195-203.
Mudrajad Kuncoro.
(2001). Regional Clustering of Indonesia’s Manufacturing Industry : A Spatial
Analysis with Geographic Information System (GIS). Gadjah Mada International
Journal of Business, September 2001. V ol. 3.
O’Sullivan, Arthur.
(2007). Urban Economics. Sixth Edition. International Edition. McGraw-Hill
Companies. New York.
Prajono dan Pranarka
(1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.
Pranarka dan Vidyandika
Moeljarto (1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS.
Jakarta.
Romer, David. (2006).
Advanced Macroeconomics. Third Edition. University of California, Berkeley.
McGraw-Hill Irwin, United State.
Sumodiningrat Gunawan
(1999). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia. Jakarta