Mata Kuliah Fiqh Muamalah : Pengertian dan Pembahasan Al Wadi'ah


PENGERTIAN DAN PEMBAHASAN AL-WADI’AH

                                                                           Makalah           
                                                           Mata Kuliah Fiqh Muamalah
                                           Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Kelompok
                                                          Program Studi Ekonomi Islam


Disusun oleh Kelompok 10 :

             1.       Irma Apriani               : 13190122
             2.       M.Alimul Hakim        : 13190149
             3.       Kms.Rendi Rahmat    : 13190130

            Dosen Pembimbing        : FATAH HIDAYAT S.Ag
            Mata Kuliah                        : FIQH MUAMALAH


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2014

                    Kata Pengantar


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Kami Panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang masih memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “WADI’AH DAN PEMBAHASANNYA”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan oleh dosen sebagai tugas mata kuliah fiqh muamalah, selain itu juga sebagai pengembangan wawasan ilmu fiqh muamalah, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan juga orang lain.
Akhirnya kami menyadari bahwa dalam makalah ini pastinya banyak kesalahan dan kekurangan sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih sempurna.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



                                                                                                                Palembang,1 April 2014



                                                                                                                                                                  


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri tanpa bantuan orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan untuk manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Adapun salah satu dari kemudahan ajaran islam adalah adanya salah satu bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal dengan Al Wadiah. Al Wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong- menolong antara manusia dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu pihak kepada pihak lain untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut dengan titipan.
Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan rumusan masalah yang akan kami bahas.

1.       Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2.       Apa landasan hukum dari wadi’ah?
3.       Apa rukun dan syarat wadi’ah?
4.       Apa hukum menerima benda titipan?
5.       Bagaimana bila barang titipan, rusak dan hilang?

BAB II
PEMBAHASAN


Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
Secara etimologi wadii’ah adalah dari kata wadda’a asy-syai’a yang artinya meninggalkan sesuatu. Jadi dinamakan wadiah karna ia ditinggal di tempat orang yang dititipi.
Secara syara’ wadi’ah adalah nama untuk harta yang dititipkan pada seseorang yang menjaganya tanpa bayaran[1].
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) adalah :

توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص

“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.[2]


اِنَّ اللهَ يَاْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوْا الْاَمَنَتِ اِلَى اَهْلِهَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyanmpaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya”. (An-Nisaa : 58)
فَاِنْ اَمِنَ بَعْضَكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
Artinya :”Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa pada Allah Tuhannya”. (Al Baqarah : 283)


عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِي صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَدَّ الْاَمَانَةَ اِلَي مَنِ اءْتَمَنَكَ وَلَا تَخَنْ مَنْ خَانَكَ
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :”Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”. (HR.Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang menurut Imam Hakim mengkategorikannya sahih)
 Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah bersabda :”Tiadalah kesempurnaan imam bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (HR.Thabrani)
Para tokoh islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ terhadap legitimasi al-wadi’ah karna kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubshut li Imam Sarakhsy.[3]


1.      Baligh
2.      Berakal
3.      Kemauan sendiri, tidak dipaksa

Menurut syafi’iyah alwadi’ah memiliki 3 rukun yaitu :
1.       Barang yang dititipkan, syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut Syarah’.
2.       Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.          
3.       Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun samar.[4]


Bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan yang diseerahkan kepadanya.

Hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.

Apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaga barang yang dititipkan sebagaiman mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.

Hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain dirinya.

Yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya boleh jadi kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.[5]


Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya. Maka ucapan nya harus di sertai dengan sumpah supaya perkataan nya itu kuat kedudukan nya menurut hokum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang yang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapan nya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah. Menurut Ibnu Taimiya apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara harta nya yang ia kelola tidak ada mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiya ini berdarkan pada atsar bahwa Umar r.a. pernah meminta jaminan dari anas bin malik r.a. ketika barang titipan nya yang ada pada anas r.a. dinyatakan hilang, sedangkan harta anas r.a. sendiri masih ada.
        Orang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan orang lain. Ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat di temukan maka ini merupakan hutang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya, jika terdapat surat dengan tulisan nya sendiri, yang berisi ada nya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan pegangan karena tulisan di anggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut di tulis dirinya sendiri.
        Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan dan sudah berusaha mencari nya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan kepentingan agama islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.[6]


BAB III
PENUTUP



1.       Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
2.       Landasan Hukum Al Wadi’ah Ada 3 :
a.       Al Qur’an
b.      Al Hadits
c.       Ijma’
3.       A. Syarat-syarat Al Wadi’ah :
a.       Baligh
b.      Berakal
c.       Kemauan sendiri, tidak dipaksa
B.      Rukun-rukun Al Wadi’ah :
a.       Barang yang dititipkan, syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut Syarah’.
b.      Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.
c.       Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun samar
4.       Hukum Menerima Al Wadi’ah :
1.Sunah
2. Mubah
3. Haram
4. Wajib
5. Makruh

DAFTAR PUSTAKA

 

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Fauzan, S. A. Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani.
Nasrun, H. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sulaiman, R. (1994). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru.


Continue reading Mata Kuliah Fiqh Muamalah : Pengertian dan Pembahasan Al Wadi'ah

Makalah Mata Kuliah Fiqih Ibadah : Zakat


ZAKAT
Di Sajikan Dalam Seminar Kelas Mata Kuliah (FIQH IBADAH)



Disusun oleh :
Kelompok 4
1.       Lusiana                                             13190141
2.       M. Alimul Hakim                             13190149
3.       Jery Triansyah                                 13190126
4.       M. Agustiawan                                 13190143

Dosen Pembimbing : Dra.Atika M.Hum.
Program Jurusan Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
PALEMBANG
2014


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ZAKAT”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat untuk penyempurnaan makalah ini, karena dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wasalamualaikum Wr Wb                       

Palembang, April 2014
                               
Penulis


BAB I

PENDAHULUAN

Islam sejak pertama kali telah mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk senantiasa bebuat kebajikan terhadap sesamanya, terutama kepada kaum dhu’afah, kaum miskin, anak-anak yatim,
Zakat artinya ibadah maliyah yang bersifat social dan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam islam. Zakat merupakan salah satu dari beberapa rukun islam, yaitu termasuk dalam rukun islam yang ketiga, setelah shalat. Allah SWT menempatkannya sejajar dengan shalat.
Adakalahnya diterangkan dengan lafazh zakat, ada juga yang diterangkan dengan lafaz shadaqah, dan di tempat lain diterangkan dengan lafazh infaq. Zakat dalam pengertian sederhananya adalah member bantuan harta dalam jumlah tertentu kepada orang-orang membutuhkan atau miskin, dan merupakan bentuk ibadah yang sudah dikenal oleh agama-agama samawi terdahulu. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Allah SWT terhadap para nabi dan rasul-nya.
Zakat itu diwajibkan atas muslim yang merdeka, baik yang dewasa atau anak-anak, atau bahkan yang masih bayi.

1.       Apa Pengertian Zakat?
2.       Bagaimana Perbedaan Zakat dengan Pajak?
3.       Siapakah Wajib Zakat dan Mustahik Zakat?
4.       Apakah Hikmah Zakat?


A.      Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa, berarti nama’ = kesuburan, barakah = keberkatan, tathhier = mensucikan. Jika diucapkan, zaka al-zar’, adalah tanaman tumbuh dan bertambah jika diberkati[1].
Sebagaimana firman Allah Swt :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (9: 103).

Harta yang dizakatkan itu dipelihara Allah, dapat diturunkan kepada anak cucu, memperoleh keberkatan dan kesucian; dapat perlindungan Allah Yang Maha Kuasa.
Dan barang yang hendak dikeluarkan untuk zakat fitrah haruslah yang bagus dan tidak boleh dicampur dengan yang rusak. Yang paling utama adalah memberikan sesuatu yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat setempat.[2]
 Adapun harta yang tiada dikeluarkan zakatnya, tidak mendapat perlindungan Allah. Harta-harta itu akan lenyap dengan segera dari permukaan bumi. Allah akan membinasakannya dengan bencana yang beraneka ragam macamnya. Harta itu, tiada akan terpakai untuk pekerjaan yang memberiakan keuntungan bagi bagi pemiliknya diakhirat. Dan tidak kalah pentingnya zakat adalah salah satu cara untuk membuktikan jihad, yaitu pengorbanan dengan jiwa raga demi merindukan perjumpaan dengan Allah SWT[3].
Demikianlah uraian yang mahsyur, sesungguhnya penamaan zakat bukanlah karena menghasilkan kesuburan bagi harta, tetapi karena mensucikan masyarakat dan menyuburkannya. Zakat merupakan kegotongroyongan antara para hartawan dengan para fakor miskin. Pengeluaran zakat merupakan perlindungna bagi masyarakat dari bencana kemasrakatan.
B.      Perbedaan Zakat dengan Pajak
Zakat adalah kewajiban agama yang ditetapkan Allah. Sedangkan,  Pajak adalah kewajiban Negara yang ditentukan oleh pemerintah.
Orang yang wajib membayar zakat hanyalah orang yang beragama Islam, sedangkan orang yang wajib membayar pajak adalah semua warga Negara dan orang asing, tanpa membedakan agama yang dimilikinya.
Adapun segi perbedaannya:
  1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
  2. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
  3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
  4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
  5. Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
  6. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
  7. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
C.      Wajib Zakat dan Mustahik Zakat
1.      Wajib Zakat
·         Orang-orang yang disepakati wajib mengeluarkan zakat:
-          Merdeka
-          Telah sampai umur
-          Berakal
·         Orang-orang yang diperselisihkan wajib mengeluarkan zakat:
-          Anak kecil
-          Orang gila
-          Hamba (budak berlian)
-          Orang yang kurang milik.
2.      Mustahik Zakat
Adapun golongan orang-orang yang berhak menerima zakat itu diantaranya adalah sebagai berikut[4]:
·         Fakir dan miskin
Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
·         Amil zakat
Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
·         Mu’allaf
Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
·         Riqab/Hamba Sahaya
yang ingin memerdekakan dirinya
·         Gharim
Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya.
·         Ibnu Sabil
Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
·           Fisabilillah
Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
Dalil Quran Tentang Mustahiq Zakat
Allah berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)
D.      Hikmah Zakat
Zakat adalah mensyukuri nikmat harta. Ibadat-ibadat badaniyah dan ibadat-ibadat maliyah. Alangkah rendahnya pekerti orang yang mengetahui para fakir yang hidup dalam kesempitan dan kemiskinan, tapi tidak tergerak hatinya untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah member kedudukan kepadanya dan menghindarkannya dari meminta-minta.
Difardlukan zakat terhadap harta-harta orang kaya, tidak saja untuk mewujudkan belas kasihan kepada orang fakir, tetapi juga untuk melindungi orang kaya dari bencana kelaparan dan kelaparan. Bencana kelaparan apabila berjangkit tidaklah membedakan antara yang kaya dengan yang miskin.
Apabila para hartawan menunaikan apa yang telah ditentukan Allah atas mereka, yakni mengeluarkan zakat harta mereka, kepada orang-orang fakir miskin, tentulah para hartawan itu dipuja-puja dan disanjung oleh para fakir miskin itu. Mereka bertulus hati dan berusaha member bantuan yang diperlukan. Para fuqaha senantiasa menghendaki supaya para hartawan yang murah tangan itu, senantiasa mendapat kebajikan.
Tetapi apabila para hartawan belaku kikir, tidak memberi hak si fakir, tentulah timbul dendam dalam hati para fakir dan tentulah mereka mengharap-harap supaya orang-orang hartawan yang kikir itu ditimpa bencana. Apabila si hartawan yang kikir itu memerlukan pertolongan, para fakir menjauhkan diri.
Diantara Hikmah Zakat  juga antara lain :
a.       menyukuri nikmat Allah, meningkat suburkan harta dan pahala serta membersihkan diri dari kekotoran, kikir dan dosa.
b.      melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan kemelaratan dengan segala akibatnya.
c.       memerangi dan mengatasi kefakiran yang menjadi sumber bencana dan kejahilan.
d.      membina dan mengembangkan stabilitas kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
e.       mewujudkan rasa solidaritas dan belas kasih.
f.       merupakan manifestasi kegotong royongan dan tolong menolong.

BAB III

1.       Zakat menurut bahasa, berarti nama’ = kesuburan, barakah = keberkatan, tathhier = mensucikan.
2.       Diantara perbedaan Zakat dan Pajak ialah:
a.       Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
b.      Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
c.       Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
3.      Orang-orang yang disepakati wajib mengeluarkan zakat:
-          Merdeka
-          Telah sampai umur
-          Berakal
4.      Mustahik Zakat
·         Fakir dan miskin
·         Amil zakat
·         Mu’allaf
·         Riqab/Hamba Sahaya
·         Gharim
·           Fisabilillah
·         Ibnu Sabil
5.      Diantara Hikmah Zakat  juga antara lain :
a.       menyukuri nikmat Allah, meningkat suburkan harta dan pahala serta membersihkan diri dari kekotoran, kikir dan dosa.
b.      melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan kemelaratan dengan segala akibatnya.
c.       memerangi dan mengatasi kefakiran yang menjadi sumber bencana dan kejahilan.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. Rahasia Puasa dan Zakat. 2003. Bandung: Penerbit Karisma.
 Al-Zuhayly, Wahbah. 1997. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Khomeini, Ayatullah. Puasa dan Zakat Fitrah. 2001. Bandung: Yayasan Pendidikan Islam 1 Jawad.
Mughniyah, M. Jawad. Fiqih Lima Mazhab. 2004. Jakarta: Lentera.


[1] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hal.82
[2] Ayatullah Khomeini, Puasa dan Zakat Fitrah, (cet 4; Bandung: Yayasan Pendidikan Islam I Jawad, 2001) hal.46-47
[3] Al-Ghazali, Rahasia Puasa dan Zakat (cet 14; Bandung: Penerbit Karisma, 2003)hal.67
[4] Mughniyah, M. Jawad. Fiqih Lima Mazhab. 2004. Jakarta: Lentera.hlm.190-193
Continue reading Makalah Mata Kuliah Fiqih Ibadah : Zakat