Mata Kuliah Fiqh Muamalah : Pengertian dan Pembahasan Al Wadi'ah


PENGERTIAN DAN PEMBAHASAN AL-WADI’AH

                                                                           Makalah           
                                                           Mata Kuliah Fiqh Muamalah
                                           Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Kelompok
                                                          Program Studi Ekonomi Islam


Disusun oleh Kelompok 10 :

             1.       Irma Apriani               : 13190122
             2.       M.Alimul Hakim        : 13190149
             3.       Kms.Rendi Rahmat    : 13190130

            Dosen Pembimbing        : FATAH HIDAYAT S.Ag
            Mata Kuliah                        : FIQH MUAMALAH


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2014

                    Kata Pengantar


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Kami Panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang masih memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “WADI’AH DAN PEMBAHASANNYA”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan oleh dosen sebagai tugas mata kuliah fiqh muamalah, selain itu juga sebagai pengembangan wawasan ilmu fiqh muamalah, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan juga orang lain.
Akhirnya kami menyadari bahwa dalam makalah ini pastinya banyak kesalahan dan kekurangan sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih sempurna.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



                                                                                                                Palembang,1 April 2014



                                                                                                                                                                  


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri tanpa bantuan orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan untuk manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Adapun salah satu dari kemudahan ajaran islam adalah adanya salah satu bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal dengan Al Wadiah. Al Wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong- menolong antara manusia dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu pihak kepada pihak lain untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut dengan titipan.
Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan rumusan masalah yang akan kami bahas.

1.       Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2.       Apa landasan hukum dari wadi’ah?
3.       Apa rukun dan syarat wadi’ah?
4.       Apa hukum menerima benda titipan?
5.       Bagaimana bila barang titipan, rusak dan hilang?

BAB II
PEMBAHASAN


Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
Secara etimologi wadii’ah adalah dari kata wadda’a asy-syai’a yang artinya meninggalkan sesuatu. Jadi dinamakan wadiah karna ia ditinggal di tempat orang yang dititipi.
Secara syara’ wadi’ah adalah nama untuk harta yang dititipkan pada seseorang yang menjaganya tanpa bayaran[1].
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) adalah :

توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص

“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.[2]


اِنَّ اللهَ يَاْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوْا الْاَمَنَتِ اِلَى اَهْلِهَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyanmpaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya”. (An-Nisaa : 58)
فَاِنْ اَمِنَ بَعْضَكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
Artinya :”Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa pada Allah Tuhannya”. (Al Baqarah : 283)


عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِي صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَدَّ الْاَمَانَةَ اِلَي مَنِ اءْتَمَنَكَ وَلَا تَخَنْ مَنْ خَانَكَ
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :”Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”. (HR.Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang menurut Imam Hakim mengkategorikannya sahih)
 Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah bersabda :”Tiadalah kesempurnaan imam bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (HR.Thabrani)
Para tokoh islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ terhadap legitimasi al-wadi’ah karna kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubshut li Imam Sarakhsy.[3]


1.      Baligh
2.      Berakal
3.      Kemauan sendiri, tidak dipaksa

Menurut syafi’iyah alwadi’ah memiliki 3 rukun yaitu :
1.       Barang yang dititipkan, syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut Syarah’.
2.       Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.          
3.       Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun samar.[4]


Bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan yang diseerahkan kepadanya.

Hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.

Apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaga barang yang dititipkan sebagaiman mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.

Hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain dirinya.

Yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya boleh jadi kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.[5]


Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya. Maka ucapan nya harus di sertai dengan sumpah supaya perkataan nya itu kuat kedudukan nya menurut hokum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang yang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapan nya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah. Menurut Ibnu Taimiya apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara harta nya yang ia kelola tidak ada mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiya ini berdarkan pada atsar bahwa Umar r.a. pernah meminta jaminan dari anas bin malik r.a. ketika barang titipan nya yang ada pada anas r.a. dinyatakan hilang, sedangkan harta anas r.a. sendiri masih ada.
        Orang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan orang lain. Ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat di temukan maka ini merupakan hutang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya, jika terdapat surat dengan tulisan nya sendiri, yang berisi ada nya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan pegangan karena tulisan di anggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut di tulis dirinya sendiri.
        Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan dan sudah berusaha mencari nya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan kepentingan agama islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.[6]


BAB III
PENUTUP



1.       Wadii’ah berasal dari kata al iida’,yang artinya mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga sesuatu secara suka rela.
2.       Landasan Hukum Al Wadi’ah Ada 3 :
a.       Al Qur’an
b.      Al Hadits
c.       Ijma’
3.       A. Syarat-syarat Al Wadi’ah :
a.       Baligh
b.      Berakal
c.       Kemauan sendiri, tidak dipaksa
B.      Rukun-rukun Al Wadi’ah :
a.       Barang yang dititipkan, syarat barang yang di titipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut Syarah’.
b.      Orang menititpkan dan yang menerima titipan, di syaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal,dan dewasa serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.
c.       Shigat ijab dan qabul alwadi’ah, di syaratkan pada hijab qabul ini di mengerti oleh kedua pihak baik dengan jelas maupun samar
4.       Hukum Menerima Al Wadi’ah :
1.Sunah
2. Mubah
3. Haram
4. Wajib
5. Makruh

DAFTAR PUSTAKA

 

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Fauzan, S. A. Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani.
Nasrun, H. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sulaiman, R. (1994). Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru.


0 Comments:

Posting Komentar

Bagikan Komentarmu