Makalah Mata Kuliah Fiqih Zakat : Zakat Pertanian di Sumsel

ZAKAT PERTANIAN DI SUMSEL

    Makalah    
Mata Kuliah Fiqih Zakat
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Kelompok
Program Study Ekonomi Islam

 

Disusun oleh Kelompok 8 :

1.      M. Alimul Hakim                     : 13190149

2.      M. Arief Nuryandani               : 13190151

3.      M. Andre Pranata                    : 13190150

 

Dosen Pembimbing     : MARSAID, DR.DRS. M.A
Mata Kuliah                : Fiqih Zakat

 

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI ISLAM

UIN RADEN FATAH

PALEMBANG

2015


Kata Pengantar

 

Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah Kami Panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang masih memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ZAKAT PERTANIAN DI SUMSEL”.

Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan oleh dosen sebagai tugas mata kuliah fiqih zakat, selain itu juga sebagai pengembangan wawasan ilmu fiqih zakat, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan juga orang lain.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam makalah ini pastinya banyak kesalahan dan kekurangan sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih sempurna.

Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

 

 

 

                                                                                    Palembang, 12 Mei 2015

 

 

 

                                                                                                                                           Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

 

Zakat adalah ibadah “Maaliyyah Ijfima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang kelima. Sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadits Nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai “ma’luum midan-diin bidh-dharuurah” atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Sebagai salah satu rukun Islam, nilai penting zakat bagi pembentukan pribadi dan masyarakat muslim sejati menuntut penguasaan terhadap pengetahuan akan zakat itu sendiri.

Mengingat pentingnya masalah zakat bagi orang muslim, khususnya yang mampu maka dalam makalah ini akan menguraikan tentang Harta Yang Wajib Di Zakati  yang telah diterangkan secara eksplisit di dalam nash al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian, tujuan dan peranan dari pembahasan makalah ini merupakan pemaparan zakat secara mendasar agar memperoleh landasan yang kuat tentang harta yang wajib di zakat.

 

B.     Rumusan Masalah

 

1.        Apa yang dimaksud dengan zakat pertanian?

2.        Apa saja yang harus dizakati dalam pertanian?

3.         Berapa ukuran dan nishob zakat pertanian?

4.        Bagaimana zakat pertanian di Sum-Sel?


BAB II
PEMBAHASAN

 

 

A.                Pengertian Zakat Pertanian

Zakat pertanian ialah satu zakat yang dikenakan atas makanan pokok yang mengenyangkan yang telah cukup nisab dan haulnya. Hasil tanaman yang wajib dizakatkan adalah biji-bijian dari jenis makanan pokok yang mengenyangkan dan tahan lama jika disimpan seperti padi, kurma, jagung, gandum dan sebagainya. Contohnya, bagi penduduk di Indonesia, makanan pokoknya adalah nasi dan nasi dihasilkan daripada padi. Maka zakat pertanian yang sesuai dikeluarkan bagi negara Indonesia adalah zakat padi.

Yang zakat pertanian disini dimaksud dengan pertanian disini adalah bahan-bahan yang digunakan sebagai makanan pokok dan tidak busuk disimpan. Hasil pertanian, tanam-tanaman maupun buah-buahan wajib dikeluarkan zakatnya apabila sudah memenuhi persyaratannya.

Allah swt berfirman dalam QS.Al-An’am : 141.

 

۞وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ١٤١

Artinya :

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

Dalam ayat tersebut menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat. Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.

 

B.                 Zakat Hasil Pertanian 

Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).

عَنْ أَبِى بُرْدَة عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ وَمُعَاذٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ يُعَلِّمَانِ النَّاسَ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ لَا يَأْخُذُوا إِلاَّ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ

“Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis)”.

Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:

الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير

“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya’ir (gandum kasar).”

Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,

إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب

“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”

Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan. Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditakar. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.

Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,

عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْأَلُهُ عَنِ الْخُضْرَوَاتِ وَهِىَ الْبُقُولُ فَقَالَ « لَيْسَ فِيهَا شَىْءٌ

“Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُعَلِّمَا النَّاسَ أَمْرَ دِينَهِمْ.وَقَالَ :« لاَ تَأْخُذَا فِى الصَّدَقَةِ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ الأَرْبَعَةِ الشَّعِيرِ وَالْحِنْطَةِ وَالزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ ».

“Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal berkata bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.

Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua alasan berikut:

1.    Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayur-sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran tidaklah memiliki sifat demikian.

2.    Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat ‘illah suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.

Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum, kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong  yang memiliki ‘illah yang sama.


C.                Nisab dan Ukuran Zakat

Nishob zakat pertanian adalah 5 wasaq. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”

1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud.

Nishob zakat pertanian = 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ x 4 mud = 1200 mud.

Ukuran mud adalah ukuran dua telapak tangan penuh dari pria sedang.

Lalu bagaimana konversi nishob zakat ini ke timbangan (kg)?

Perlu dipahami bahwa sho’ adalah ukuran untuk takaran. Sebagian ulama menyatakan bahwa satu sho’ kira-kira sama dengan 2,4 kg. Syaikh Ibnu Baz menyatakan, 1 sho’ kira-kira 3 kg. Namun yang tepat jika kita ingin mengetahui ukuran satu sho’ dalam timbangan (kg) tidak ada ukuran baku untuk semua benda yang ditimbang. Karena setiap benda memiliki massa jenis yang berbeda. Yang paling afdhol untuk mengetahui besar sho’, setiap barang ditakar terlebih dahulu. Hasil ini kemudian dikonversikan ke dalam timbangan (kiloan).

Taruhlah jika kita menganggap 1 sho’ sama dengan 2,4 kg, maka nishob zakat tanaman = 5 wasaq x  60 sho’/ wasaq x 2,4 kg/ sho’ = 720 kg.

Dari sini, jika hasil pertanian telah melampaui 1 ton (1000 kg), maka sudah terkena wajib zakat.

Catatan: Jika hasil pertanian tidak memenuhi nishob, belum tentu tidak dikenai zakat. Jika pertanian tersebut diniatkan untuk perdagangan, maka bisa masuk dalam perhitungan zakat perdagangan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

 

Kadar Zakat Hasil Pertanian

Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan air sungai tanpa ada biaya yang dikeluarkan atau bahkan tanaman tersebut tidak membutuhkan air, dikenai zakat sebesar 10 %.

Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan biaya untuk pengairan misalnya membutuhkan pompa untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai zakat sebesar 5%.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ

“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tada hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).”

Jika sawah sebagiannya diairi air hujan dan sebagian waktunya diairi air dengan biaya, maka zakatnya adalah ¾ x 1/10 = 3/40 = 7,5 %. Dan jika tidak diketahui manakah yang lebih banyak dengan biaya ataukah dengan air hujan, maka diambil yang lebih besar manfaatnya dan lebih hati-hati. Dalam kondisi ini lebih baik mengambil kadar zakat 1/10.

Catatan: Hitungan 10% dan 5% adalah dari hasil panen dan tidak dikurangi dengan biaya untuk menggarap lahan dan biaya operasional lainnya.

Contoh: Hasil panen padi yang diairi dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 ton. Zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari 1 ton, yaitu 100 kg dari hasil panen.

Kapan zakat hasil pertanian dikeluarkan?

Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban zakat.

Kewajiban zakat disyaratkan ketika biji tanaman telah keras (matang), demikian pula tsimar (seperti kurma dan anggur) telah pantas dipetik (dipanen). Sebelum waktu tersebut tidaklah ada kewajiban zakat. Dan di sini tidak mesti seluruh tanaman matang. Jika sebagiannya telah matang, maka seluruh tanaman sudah teranggap matang.

Zakat buah-buahan dikeluarkan setelah diperkirakan berapa takaran jika buah tersebut menjadi kering. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

عَنْ عَتَّابِ بْنِ أَسِيدٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُخْرَصَ الْعِنَبُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ وَتُؤْخَذُ زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤْخَذُ زَكَاةُ النَّخْلِ تَمْرًا

“Dari ‘Attab bin Asid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menaksir anggur sebagaimana menaksir kurma. Zakatnya diambil ketika telah menjadi anggur kering (kismis) sebagaimana zakat kurma diambil setelah menjadi kering.”

Walau hadits ini dho’if (dinilai lemah) namun telah ada hadits shahih yang disebutkan sebelumnya yang menyebutkan dengan lafazh zabib (anggur kering atau kismis) dan tamr (kurma kering).


D.               Zakat Pertanian di Sum-Sel

 

a.       Petani Berzakat

 

Pada Juni 2006, Dompet Dhuafa Republika (DD), masuk ke Desa Telang Sari. Melalui jejaringnya, Lembaga Pertanian Sehat (LPS), DD menggulirkan dana muzaki (donatur) Rp 342 juta, untuk program pemberdayaan petani Telang Sari. Terdapat 134 petani yang terlibat dalam program ini. Luas lahan percontohan program, mencapai 130,5 hektar. Mereka terbagi dalam 15 kelompok.

 “Biasanya habis panen petani banyak nelongsonya. Sudah harga beras nggak laku, harus lunasi pinjaman ke rentenir”, katanya.

Diakui Poniman, program DD cukup efektif. Selain memberi bantuan, juga pendampingan nilai kemandirian. Para petani diberikan penjelasan, cara membangun komunitas, menabung, dan menghindari rentenir.

“Petani di sini, sekarang sudah 90 persen yang tak utang ke rentenir mas. Sisanya, mereka yang kurang sabar saja. Mewakili kelompok, saya berharap program LPS ini dilanjutkan terus”, Poniman berharap.

Menurut Direktur Program DD, Ahmad Juwaini, dilihat dari pengembalian dana bergulir, program ini cukup kelihatan dampaknya. Hanya yang sekarang dipikirkan, bagaimana LPS bisa mendorong agar musim tanam di Telang Sari bisa dua kali dalam setahun. Juga mendesaian, jaringan pasar beras mandiri, sehingga petani tidak tergantung pada tengkulak dan punya harga tawar beras yang adil.

“Dari total petani yang bergabung, hanya lima petani yang tidak dapat mengembalikan penuh dana bergulirnya. Itu karena mereka gagal panen. Melihat hasilnya, kami komitmen untuk melanjutkan program ini. Dalam jangka panjang, kami juga ingin meluaskan ke daerah lain”, kata Ahmad Juwaini, saat panen raya padi kedua kalinya, di Telang Sari, Jumat (8/2). Sebelumnya DD juga punya program pertanian serupa, di Lamongan, Mojokerto, Brebes, Bogor, dan Sukabumi.

Bagi DD, program Telang Sari memberikan kejutan yang luar biasa. Pasalnya, petani Telang Sari kini sudah membayar zakat pertanian 5 persen dari hasil padi mereka. Zakat itu, ditunaikan melalui lembaga zakat Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM) Palembang. Panen tahun lalu, nilai zakat petani Telang Sari mencapai lebih dari Rp 12 juta.

Petani Telang Sari, potret kecil petani Indonesia. Negeri ini mampu mencapai swasembada pangan, jika ada kebijakan yang berpihak pada petani. Karena, modal etos kerja yang tinggi pada petani Indonesia, telah teruji dalam berbagai lahan dan medan.

Jika kemudian, banyak program pemerintah gagal di akar rumput, mungkin cara pendekatannya yang kurang tepat. Atau tak ada salahnya, dalam menjalankan programnya, pemerintah menggandeng lembaga sosial dan pihak lain yang aktivitasnya murni berkhidmat untuk masyarakat. Prinsipnya, beda cara penetrasi program, tapi tujuannya sama. Yakni, menyejahterakan petani Indonesia.

 

Desa Sumberjaya, adalah sebuah desa ex-transmigrasi tahun 1977 yang telah menjadi desa definitif sejak tahun 1986, dan saat ini berada dalam wilayah administratif Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin. Penduduknya berjumlah 4.238 jiwa dengan 1.135 KK. Dari jumlah tersebut, beragama Hindu sebanyak 38 KK (3,35%), Kristen/Katholik sebanyak 7 KK (0,62%), dan sisanya beragama Islam (96,03%). (Sumber : Data monografi Desa Sumberjaya tahun 2011). Dari segi prosentase pemeluk agama, data ini sedikit berbeda dengan keadaan awal pada tahun 1977, dimana dari 500 KK warga transmigran hanya terdapat 4 KK  beragama Kristen/Katholik (0,80%), dan 496 KK beragama Islam (99,20%). Sementara warga yang beragama Hindu adalah pendatang murni.

Desa ini terletak di wilayah perairan pasang surut seluas 2.910 Ha, dengan penghasilan utama warganya adalah pertanian padi pasang surut dan perkebunan kelapa dalam (kelapa biasa). Pertanian padi pasang surut adalah salah satu sistem penanaman padi yang hanya dapat dilakukan sekali dalam satu tahun. Dengan demikian memacu kepada petani untuk bersawah luas (ekstensifikasi pertanian), sehingga hasilnya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya selama satu tahun. Sudah barang tentu, mayoritas petani memperoleh hasil padi melebihi satu nishab zakat.

 

 


 

BAB III
PENUTUP

 

A.                Kesimpulan

 

1.        Zakat pertanian ialah satu zakat yang dikenakan atas makanan pokok yang mengenyangkan yang telah cukup nisab dan haulnya.

2.        Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).

Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.

3.      Nishob zakat pertanian adalah 5 wasaq.

1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud.

Nishob zakat pertanian = 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ x 4 mud = 1200 mud.

Ukuran mud adalah ukuran dua telapak tangan penuh dari pria sedang.

 



DAFTAR PUSTAKA 


Fakhruddin, Fiqih Dan Manajemen Zakat. Cet 1, Uin Malang, Press, 2008

Rahmawati Muin, Manajemen Zakat, Cet 1, Uin Alaudin Press, Makassar 2011.

 


0 Comments:

Posting Komentar

Bagikan Komentarmu