PEMINDAHAN
TANGGUNG JAWAB HUTANG
Makalah
Mata Kuliah Ayat Dan
Hadits Ekonomi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas
Kelompok
Program
Study Ekonomi Islam
Disusun oleh kelompok 11 :
1.
M.ALIMUL HAKIM :
13190149
2.
MAYLASA HENDRI IRAWAN : 13190156
3.
MARDHOTILLAH : 13190157
Dosen Pembimbing : Drs.H.ZAINAL UMARI
Mata Kuliah : Ayat dan Hadits Ekonomi
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2014
Kata
Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah
Kami Panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang masih memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya kepada kami
sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PEMINDAHAN
TANGGUNG JAWAB HUTANG (AL HIWALAH)”.
Makalah ini
merupakan salah satu tugas kelompok yang
diberikan oleh dosen, selain itu juga sebagai pengembangan wawasan mata kuliah
ayat dan hadits ekonomi, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri
dan juga orang lain.
Akhirnya kami
menyadari bahwa dalam makalah ini pastinya banyak kesalahan dan kekurangan
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing dan pembaca
agar makalah ini dapat menjadi lebih sempurna
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palembang, 24 Maret
2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan
sesama dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Islam sebagai agama yang
paling sempurna dan komprehensif di dunia ini, juga telah mengatur urusan dalam
hal ini, yaitu yang lebih dikenal dengan muamalah atau hubungan dengan sesama
makhluk, terlebih Allah swt juga memerintahkan kita untuk saling tolong
menolong.
Salah satu cabang daripada
fiqih muamalah (ilmu yang membahas tentang aturan-aturan (hukum) Allah swt yang
ditunjukkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan dan sosial
kemasyarakatan) yaitu menjelaskan tentang pemindahan tanggung jawab hutang atau
yang lebih dikenal dalam islam yaitu al hiwalah, yang merupakan salah satu
bentuk tolong menolong dalam islam. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan
tentang permasalahan al hiwalah sebagai berikut.
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian pemindahan
tanggung jawab hutang (al hiwalah)?
2.
Apa landasan hukum pemindahan
tanggung jawab hutang (al hiwalah)?
3.
Berapa jenis-jenis pemindahan
tanggung jawab hutang (al hiwalah)?
4.
Apa rukun dan syarat pemidahan
tanggun jawab hutang (al hiwalah)?
5.
Apa akibat hukum dari pemindahan
tanggung jawab hutang (al hiwalah)?
6.
Kapan akad pemindahan tanggung
jawab hutang (al hiwalah) berakhir?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)
Al Hiwalah (Transfer Service) adalah
pengalihan utang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya/menerimanya.[1]
Sedangkan secara
terminologi, al-hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) di definisikan dengan[2]:
النَّقْلُ مِنْ
مَحَلٍّ اِلَى مَحَلٍّ
“Pemindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain"
Dan menurut Hanafiyah, yang
dimaksud Hiwalah ialah :
نَقْلُ الْمُطَا لَبَةِ مِنْ ذِ مَّةِ الْمَدْ يُوْنِ اِلَي
ذِ مَّةِ الْمُلْتَزَ مِ
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain
yang punya tanggung jawab kewajiban pula”.
Pada dasarnya definisi yang di kemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama
fiqh di atas sekalipun berbeda secara tekstual, tetapi secara subtansial
mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada
pihak lain ( ketiga ) atas dasar persetuan dari pihak yang memberi utang.
B.
Landasan Hukum Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُ وْا كَا تِبًا فَرِهَنٌ مَّقْبُوْضَةٌ فَاِنْ اَمِنَ بَعْضَكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلَا
تَكْتُمُوْا الشَّهَدَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَاِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ
Artinya :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al Baqarah :283)
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ اَهْلِهَا اِنْ يُّرِيْدآ اِصْلَحًا
يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
Artinya :
“ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam darikeluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS.An Nisaa : 35)
Hiwalah sebagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesama
manusia di benarkan oleh Rasulullah saw. Melalui sabda beliau yang menyatakan[3] :
ﻣَطْﻝُ ﺍﻠْﻐَﻧِﻰِّ
ظُﻠْﻡٌ فَاِﺫَﺍ ﺍُﺗْﺒِﻊَﻋَﻠَﻰ ﻣَليِّ فَلْيَتَّبِعْ (ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠمعة)
“ Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan,
jika salah seorang diantara kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.”
Pada hadits tersebut Rasulullah membritahu kepada orang yang menghutangkan,
jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya/mampu,
hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang
yang dihiwalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagaimana para ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hiwalah
dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang
menghutangkan (muhal) menerima hiwalah. Adapun mayoritas ulama berpendapat
bahwa perintah tersebut menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima
hiwalah bagi muhal.
وَاِذَا أُحِىْلَ أَحَدُ كُمْ عَلَي مَلِىءٍ
فَلْيُحْتَلْ
”Dan jika salah
seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, hendaklah kamu
menerima pemindahan itu.” (HR.Ahmad Al-Baihaqi)
ومن احيل علي مليء فليحتل (رواه اححمد بن حنبل)
“Barang siapa yang mengalihkan kepada orang kaya, maka hendaklah
diturutinya” (HR.Ahmad bin Hanbal).
Di samping itu, terdapat kesepakatan ulama (ijma`) yang
menyatakan bahwa tindakan pemindahan tanggung jawab hutang boleh di
lakukan.Mazhab hanafi membagi hiwalah kepada beberapa bagian.
Di tinjau dari
objek akad, hiwalah dapat di bagi dua. Apabila yang di pindahkan
itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu di sebut hiwalah
al-haqq ( pemindahan hak). Sedangkan jika di pindahkan kewajiban untuk
membayar utang, maka pemindahan itu di sebut hiwalah ad-dain(pemindahan
utang.
Di
tinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu pemindahan sebagai
ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak ke dua yang di
sebut al-hiwalah al-muqayyadah(pemindahan bersyarat ) dan pemindahan
utang yang tidak di tegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama
kepada pihak kedua yang di sebut al-hiwalah al-muthlaqah ( pemindahan
mutlak )[4].
Di dalam kitab-kitab fiqh, pihak pertama yang memindahkan
hak pembayaran utang ( dalam contoh pertama Nanda ), ataupun yang memindahkan
utang ( dalam contoh ke dua : Tari ), di sebut al-muhil. Pihak kedua
yang menerima pindahan hak menurut pembayaran utang, ( dalam contoh pertama :
Teguh ), ataupun yang menerima pemindahan kewajiban membayar utang ( dalam
contoh kedua : ruben), di sebut al-muhal. Pihak ketiga yang
berkewajiban membayar utang ( dalam contoh : ferdy dan kedua mashari),
disebut al-muhal alaih, sedangkan utang itu sendiri disebut
dengan al-muhal bih[5].
C. Jenis
Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah )
Mazhab Hanafi membagi Al Hiwalah
dalam beberapa bagian :
a.
Ditinjau Dari
Segi Objek Akad
1. Hiwalah Al Haq ( Pengalihan Hak Piutang )
Yaitu apabila
yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran hutang.
2. Hiwalah Ad Dain ( Pengalihan Hutang )
Yaitu apabila
yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar hutang
1. Al Hiwalah Al Muqayyadah ( Pengalihan Bersyarat )
Yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang
muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
2. Al Hiwalah al Muthlaqah ( Pengalihan Mutlaq )
Yaitu pengalihan hutang yang tidak ditegaskan sebagai
ganti rugi dari
pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
D.
Rukun & Syarat-syarat Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)
a.
Rukun Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah )
Menurut
Hanafiyah, rukun hiwalah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul yang dilakukan
antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah[6].
Rukun dari akad pemindahan tanggung
jawab hutang yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu[7]:
1. Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yang berhutang,muhil adalah pihak
yang mempunyai hutang, dan muhal ‘alaih adalah pihak yang mengambil alih
hutang/piutang.
2.
Objek akad,
yaitu muhal bih (hutang).
3.
Shighah, yaitu
ijab dan qabul.
Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut[8] :
1. Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal
‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak,
karenanya muhilyang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana
saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak
yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan
tanpa kerelaannya.
2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu,
serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sahhiwalah apabila hutang berbentuk
emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian
pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar
kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah
pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya
lebih banyak.
3. Stabilnya utang, jika penghiwalahan itu kepada
pegawai yang gajinya belum lagi di bayar, maka hiwalah tidak sah.
4. Kedua hak
tersebut di ketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah,
dengan sendirinya tanggungan si muhil gugur. Andai kata muhal `alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh
kembali lage kepada muhil.
Demikian menurut pendapat jumhur ( kebanyakan ) ulama.
Sedangkan menurut Menurut
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6[9] :
1. Pihak
pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang.
2. Pihak
kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak
ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
4. Ada
piutang muhil kepada muhal
5. Ada
piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6. Sighat ( lafaz akad )
Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhildengan kata-katanya, “Aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau
kepada fulan” dan kabul darimuhal dengan kata-katanya, “Aku
terima hiwalah engkau”.
b.
Syarat-syarat
dalam Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)
Sedangkan syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu[10] :
1.
Persetujuan
para pihak terkait.
2.
Kedudukan dan
kewajiban para pihak.
Syarat-syarat
yang di perlukan pada muhil(pihak pertama) ialah :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad,
yaitu, balig,dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh
kanak-kanak, meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan
oleh orang gila.
2. Ada
pernyataan persetujuan (ridha). Jika pihak pertama di paksa untuk
melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah. Adanya persyaratan ini
berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan
terhina harga dirinya.
Syarat-syarat
yang di perlukan pada muhal(pihak kedua) ialah :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad,
yaitu, balig,dan berakal, sebagai mana pihak pertama.
2. Ada
persetujuan (ridha) dari muhal terhadapmuhil yang
melakukan hiwalah (madzhab Hanafi,sebagian besar madzhab Maliki dan
Syafi’i)
Persyaratan
ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar
hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Sedangkan menerima
pelunasan itu merupakan hak muhal.
Jika hiwalah dilakukan
secara sepihak saja,muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya apabila
ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar hutang tersebut.
Syarat
bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :
1. Baligh
dan berakal
2. Ada
persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih(madzhab Hanafi). Sedangkan menurut
madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab
dalam akad hiwalah,muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan
demikian persetujuan tidak merupakan syarat sah hiwalah.
Syarat yang diperlukan
bagi hutang yang dialihkan adalah[11]:
1. Sesuatu
yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang
sudah pasti.
2. Apabila
pengalihan utang itu dalam bentukhiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih
sepakat bahwa baik hutang muhil kepada muhalmaupun muhal
‘alaih kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.
Jika antara
kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang) atau
perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hawalah tidak sah.Tetapi
apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah (madzhab
Hanafi) maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun
kualitasnya. Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut harus sama
pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.
Sementara itu,
syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut[12]:
1.
Relanya pihak
muhil dan muhal tanpa muhal alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal
‘alaih. Bagi muhal ‘alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi
kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela,
yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah bersabda
اِذَا أُحِىْلَ
أَحَدُ كُمْ عَلَي مَلِىءٍ فَلْىَتَّبِعْ
”Dan jika salah
seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.”
2. Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas,
dan kuantitasnya.
3. Stabilnya
muhal ‘alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar utang
adalah batal.
4. Hak
tersebut diketahui secara jelas.
E.
Akad Pemindahan Tanggung
Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) Berakhir
Akad Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (
Al Hiwalah ) berakhir jika
terjadi hal-hal berikut[13]:
1.
Salah satu
pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalahsebelum akad
itu berlaku secara tetap.
2.
Muhal melunasi
hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
3.
Jika muhal meninggal
dunia, sedangkanmuhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi
harta muhal.
4.
Muhal
‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam
akadhiwalah tersebut kepada muhal.
5.
Muhal membebaskan
muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
6.
Menurut
madzhab Hanafi, hak muhaltidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga
mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit.
F. Manfaat
Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah)
Seperti diuraikan diatas, akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali
manfaat dan keuntungan, diantaranya[14] :
a. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat
dan simultan.
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang
membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber
pendapatan nonpembiayaan bgi bank syariah.
Adapun risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah yakni adanya
kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji)
untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al Hiwalah (Transfer Service) adalah pengalihan
utang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya/menerimanya.
2. Landasan hukum Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al
Hiwalah ) ada 3 :
1. Al Qur’an
2. Al Hadits
3. Ijma’
3. Ada 2 jenis Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah
), yaitu:
1. Ditinjau dari segi objek akad
2. Ditinjau dari segi jenis akad
4. Menurut madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 :
a. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang
menghiwalahkan (memindahkan) utang.
b. Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang
dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
c. Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang
yang menerima hiwalah
d. Ada
piutang muhil kepada muhal
e. Ada piutang muhal
‘alaih kepada muhil
f. Sighat ( lafaz akad )
5. Akad Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah )
berakhir jika terjadi 6 hal
6. Diantara manfaat Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al
Hiwalah ) yaitu Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan
simultan.
7.
Daftar Pustaka
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah Dari Teori Ke
Praktek. Jakarta: Gema Insani.
Nasrun, H. (2007). Fiqh Muamalah.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Rasyid, S. (1994). Fiqh Islam (Hukum Lengkap
Islam). Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Suhendi, H. (2007). Fiqh Muamalah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suhendi, H. (2008). Fiqh Muamalah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Catatan Kaki :
[1] Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah.
Jakarta: Rajawali Pers.2007
[2] Suhendi, Hendi. Fiqih
Muamalah. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada. 2002. Hlm.99
[3] Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari
Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm. 126
[4] Suhendi,
Hendi. Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
2007. hlm. 96
[5] Haroen,
Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007. hlm.
222
[6] Suhendi, Hendi. Fiqih
Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 101
[7] Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers. 2007.
[8] Haroen,
Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama . 2007.hlm. 223-224
[9]Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung :Sinar Baru Algensindo. 2008. hlm. 93
[10]Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah.
Jakarta: Rajawali Pers. 2007.
[11]Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008. hlm.91
[12] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. PT.Raja Grafindo
Persada.2007. hlm.102
[13] Rasyid, Sulaiman. Fiqh
Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994. Hlm.
312-313
[14] Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek.
Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm. 127
0 Comments:
Posting Komentar
Bagikan Komentarmu