Makalah Mata Kuliah Ayat Dan Hadits Ekonomi : Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)

PEMINDAHAN TANGGUNG JAWAB HUTANG

Makalah         
Mata Kuliah
Ayat Dan Hadits Ekonomi
Diajukan Untuk Melengka
pi Tugas Kelompok
Prog
ram Study Ekonomi Islam

 

Disusun oleh kelompok 11 :

 

1.      M.ALIMUL HAKIM                       : 13190149

2.      MAYLASA HENDRI IRAWAN      : 13190156

3.      MARDHOTILLAH                          : 13190157

 

Dosen Pembimbing     :  Drs.H.ZAINAL UMARI
Mata Kuliah               :
 Ayat dan Hadits Ekonomi

 

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI ISLAM

IAIN RADEN FATAH PALEMBANG

2014

Kata Pengantar

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah Kami Panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang masih memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PEMINDAHAN TANGGUNG JAWAB HUTANG (AL HIWALAH)”.

Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok  yang diberikan oleh dosen, selain itu juga sebagai pengembangan wawasan mata kuliah ayat dan hadits ekonomi, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan juga orang lain.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam makalah ini pastinya banyak kesalahan dan kekurangan sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing dan pembaca agar makalah ini dapat menjadi lebih sempurna

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

 

 

                                                                                    Palembang, 24 Maret 2014

 

 

                                                                                                  Penulis


 



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang Masalah

 

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Islam sebagai agama yang paling sempurna dan komprehensif di dunia ini, juga telah mengatur urusan dalam hal ini, yaitu yang lebih dikenal dengan muamalah atau hubungan dengan sesama makhluk, terlebih Allah swt juga memerintahkan kita untuk saling tolong menolong.

      Salah satu cabang daripada fiqih muamalah (ilmu yang membahas tentang aturan-aturan (hukum) Allah swt yang ditunjukkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan dan sosial kemasyarakatan) yaitu menjelaskan tentang pemindahan tanggung jawab hutang atau yang lebih dikenal dalam islam yaitu al hiwalah, yang merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam islam. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan tentang permasalahan al hiwalah sebagai berikut.

       

B.     Rumusan Masalah

 

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1.      Apa pengertian pemindahan tanggung jawab hutang (al hiwalah)?

2.      Apa landasan hukum pemindahan tanggung jawab hutang (al hiwalah)?

3.      Berapa jenis-jenis pemindahan tanggung jawab hutang (al hiwalah)?

4.      Apa rukun dan syarat pemidahan tanggun jawab hutang (al hiwalah)?

5.      Apa akibat hukum dari pemindahan tanggung jawab hutang (al hiwalah)?

6.      Kapan akad pemindahan tanggung jawab hutang (al hiwalah) berakhir?

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)

 

Al Hiwalah (Transfer Service) adalah pengalihan utang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya.[1]

Sedangkan secara terminologi, al-hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) di definisikan dengan[2]:

 

النَّقْلُ مِنْ مَحَلٍّ اِلَى مَحَلٍّ                                                                                               

Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain"

    Dan menurut Hanafiyah, yang dimaksud Hiwalah ialah :

 

نَقْلُ الْمُطَا لَبَةِ مِنْ ذِ مَّةِ الْمَدْ يُوْنِ اِلَي ذِ مَّةِ الْمُلْتَزَ مِ

“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”.

  

          Pada dasarnya definisi yang di kemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama fiqh di atas sekalipun berbeda secara tekstual, tetapi secara subtansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain ( ketiga ) atas dasar persetuan dari pihak yang memberi utang.

 

B.     Landasan  Hukum Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)

 

a.      Al Qur`an

 

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُ وْا كَا تِبًا فَرِهَنٌ مَّقْبُوْضَةٌ فَاِنْ اَمِنَ بَعْضَكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوْا الشَّهَدَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَاِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ

           

Artinya :

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al Baqarah :283)

 

وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ اَهْلِهَا اِنْ يُّرِيْدآ اِصْلَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا

Artinya :

“ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam darikeluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS.An Nisaa : 35)

 

 

 

b.      Al  Hadits

 

        Hiwalah sebagai salah satu bentuk  ikatan atau transaksi antar sesama manusia di benarkan oleh Rasulullah saw. Melalui sabda beliau yang menyatakan[3] :

 

ﻣَطْﻝُ ﺍﻠْﻐَﻧِﻰِّ ظُﻠْﻡٌ فَاِﺫَﺍ ﺍُﺗْﺒِﻊَﻋَﻠَﻰ ﻣَليِّ فَلْيَتَّبِعْ (ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠمعة)

 

Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan, jika salah seorang diantara kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.”

 

Pada hadits tersebut Rasulullah membritahu kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.

Sebagaimana para ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hiwalah dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang menghutangkan (muhal) menerima hiwalah. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah tersebut menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hiwalah bagi muhal.

        وَاِذَا أُحِىْلَ أَحَدُ كُمْ عَلَي مَلِىءٍ فَلْيُحْتَلْ

 

Dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, hendaklah kamu menerima pemindahan itu.” (HR.Ahmad Al-Baihaqi)

 

ومن احيل علي مليء فليحتل (رواه اححمد بن حنبل)

 

“Barang siapa yang mengalihkan kepada orang kaya, maka hendaklah diturutinya” (HR.Ahmad bin Hanbal).

 

c.       Ijma’

 

          Di samping itu, terdapat kesepakatan ulama (ijma`)  yang menyatakan bahwa tindakan pemindahan tanggung jawab hutang boleh di lakukan.Mazhab hanafi membagi hiwalah kepada beberapa bagian.

Di tinjau dari objek akad, hiwalah dapat di bagi dua. Apabila yang di pindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu di sebut hiwalah al-haqq ( pemindahan hak). Sedangkan jika di pindahkan kewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan itu di sebut hiwalah ad-dain(pemindahan utang.

            Di tinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua pula, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak ke dua yang di sebut al-hiwalah al-muqayyadah(pemindahan bersyarat ) dan pemindahan utang yang tidak di tegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang di sebut al-hiwalah al-muthlaqah ( pemindahan mutlak )[4].

  Di dalam kitab-kitab fiqh, pihak pertama yang memindahkan hak pembayaran utang ( dalam contoh pertama Nanda ), ataupun yang memindahkan utang ( dalam contoh ke dua : Tari ), di sebut al-muhil. Pihak kedua yang menerima pindahan hak menurut pembayaran utang, ( dalam contoh pertama : Teguh ), ataupun yang menerima pemindahan kewajiban membayar utang ( dalam contoh kedua : ruben), di sebut al-muhal.  Pihak ketiga yang berkewajiban membayar utang ( dalam contoh : ferdy  dan kedua mashari), disebut al-muhal alaih, sedangkan utang itu sendiri disebut dengan al-muhal bih[5].

 

C.   Jenis Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah )

 

Mazhab Hanafi membagi Al Hiwalah dalam beberapa bagian :

a.      Ditinjau Dari Segi Objek Akad

1.      Hiwalah Al Haq ( Pengalihan Hak Piutang )

Yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran hutang.

2.      Hiwalah Ad Dain ( Pengalihan Hutang )

Yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar hutang

b.      Ditinjau Dari Jenis Akad

1.      Al Hiwalah Al Muqayyadah ( Pengalihan Bersyarat )

Yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).

 

2.      Al Hiwalah al Muthlaqah ( Pengalihan Mutlaq )

Yaitu pengalihan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).

 

D.    Rukun & Syarat-syarat Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)

 

a.      Rukun Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah )

Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah[6].

 

Rukun dari akad pemindahan tanggung jawab hutang yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu[7]:

1.    Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yang berhutang,muhil adalah pihak yang mempunyai hutang, dan muhal ‘alaih adalah pihak yang mengambil alih hutang/piutang.

2.    Objek akad, yaitu muhal bih (hutang).

3.    Shighah, yaitu ijab dan qabul.

 

Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut[8] :

1.   Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhilyang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.

2.  Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sahhiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.

3.  Stabilnya utang, jika penghiwalahan itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi di bayar, maka hiwalah tidak sah.

4.  Kedua hak tersebut di ketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan si muhil gugur. Andai kata muhal `alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh kembali lage kepada muhil. Demikian menurut pendapat jumhur ( kebanyakan ) ulama.

Sedangkan menurut Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6[9] :

1.    Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang.

2.    Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang            kepada muhil).

3.    Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah

4.    Ada piutang muhil kepada muhal

5.    Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil

6.    Sighat ( lafaz akad )

       Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhildengan kata-katanya, “Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul darimuhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.

 

b.      Syarat-syarat dalam Pemindahan Tanggung Jawab Hutang (Al Hiwalah)

Sedangkan syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu[10] :

1.      Persetujuan para pihak terkait.

2.      Kedudukan dan kewajiban para pihak.

 

            Syarat-syarat yang di perlukan pada muhil(pihak pertama) ialah :

1.   Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu, balig,dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh kanak-kanak, meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun  dilakukan oleh orang gila.

2.     Ada pernyataan persetujuan (ridha). Jika pihak pertama di paksa untuk melakukan hiwalah  maka    akad itu tidak sah. Adanya persyaratan ini berdasarkan  pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya.

 

Syarat-syarat yang di perlukan pada muhal(pihak kedua) ialah :

1.    Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu, balig,dan berakal, sebagai mana pihak pertama.

2.    Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadapmuhil yang melakukan hiwalah (madzhab Hanafi,sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)

Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak muhal.

Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja,muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar hutang tersebut.

 

Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :

1.    Baligh dan berakal

2.    Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih(madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah,muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian persetujuan tidak merupakan syarat sah hiwalah.

 

Syarat yang diperlukan bagi hutang yang dialihkan adalah[11]:

1.    Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.

2.    Apabila pengalihan utang itu dalam bentukhiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik hutang muhil kepada muhalmaupun muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.

Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hawalah tidak sah.Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah (madzhab Hanafi) maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya. Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.

 

Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut[12]:

1.      Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal ‘alaih. Bagi muhal ‘alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah bersabda

 

اِذَا أُحِىْلَ أَحَدُ كُمْ عَلَي مَلِىءٍ فَلْىَتَّبِعْ

 

Dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.”

 

2.    Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya.

3.    Stabilnya muhal ‘alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal.

4.    Hak tersebut diketahui secara jelas.

 

E.   Akad Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) Berakhir

 

Akad Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) berakhir jika terjadi hal-hal berikut[13]:

1.        Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalahsebelum akad itu berlaku secara tetap.

2.        Muhal melunasi hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.

3.        Jika muhal meninggal dunia, sedangkanmuhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.

4.        Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akadhiwalah tersebut kepada muhal.

5.        Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.

6.        Menurut madzhab Hanafi, hak muhaltidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit.

 

F.    Manfaat Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah)

 

Seperti diuraikan diatas, akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya[14] :

a.       Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.

b.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.

c.       Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan nonpembiayaan bgi bank syariah.

Adapun risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah yakni adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

 

1.      Al Hiwalah (Transfer Service) adalah pengalihan utang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya.

2.      Landasan hukum Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) ada 3 :

1.      Al Qur’an

2.      Al Hadits

3.      Ijma’

3.      Ada 2 jenis Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ), yaitu:

1.      Ditinjau dari segi objek akad

2.      Ditinjau dari segi jenis akad

 

4.      Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 :

a. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang.

b. Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).

c. Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah

d. Ada piutang muhil kepada muhal

e. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil

f. Sighat ( lafaz akad )

5.      Akad Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) berakhir jika terjadi 6 hal

6.      Diantara manfaat Pemindahan Tanggung Jawab Hutang ( Al Hiwalah ) yaitu Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.


7.       

Daftar Pustaka

 

 

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.

Nasrun, H. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Rasyid, S. (1994). Fiqh Islam (Hukum Lengkap Islam). Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Suhendi, H. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suhendi, H. (2008). Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

 

 

 

Catatan Kaki :


[1] Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.2007

[2] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada. 2002. Hlm.99

[3] Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm. 126

[4] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2007. hlm. 96

[5] Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007. hlm. 222

[6] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 101

[7] Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers. 2007.

[8] Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama . 2007.hlm. 223-224

[9]Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung :Sinar Baru Algensindo. 2008. hlm. 93

[10]Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers. 2007.

[11]Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah.  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008. hlm.91

[12] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada.2007.  hlm.102

[13] Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994. Hlm. 312-313

[14] Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm. 127


0 Comments:

Posting Komentar

Bagikan Komentarmu